MENYUSUN
PROPOSAL PENELITIAN
Sering sekali muncul pertanyaan tentang tata
cara menyusun Proposal Penelitian dan format atau bentuk penyajiannya.
Pertanyaan itu muncul tidak hanya dari mahasiswa dari setiap strata pendidikan,
tetapi juga dari kalangan guru yang bermaksud melakukan penelitian sebagai
salah satu kegiatan ilmiyah yang perlu mereka lakukan dalam mengusulkan
kenaikan pangkat dan jabatannya. Sebenarnya pertanyaan tersebut terjawab secara
tuntas dalam mata kuliah Metodologi Penelitian. Akan tetapi oleh karena mata
kuliah tersebut dipelajari sudah lama, mungkin ingatannya tidak segar lagi.
Atau mungkin juga pertanyaan itu muncul karena pengalaman yang kurang
menyenangkan dalam proses mengajukan proposal penelitian.
Tulisan ini mencoba memberikan uraian singkat
tentang penyusunan proposal penelitian, dengan asumsi bahwa pada hakikatnya
tidak ada format, sistematika dan isi proposal yang baku atau standar. Karena
format, sistematika, dan isi Proposal Penelitian bergantung pada tujuan dan
kesepakatan di kalangan tertentu. Secara khusus tulisan ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi mahasiswa/i di jurusan Teknologi Pendidikan FIP UNJ, yang
sedang mempersiapkan Proposal Penelitian untuk penulian skripsinya.
Apa yang dimaksud dengan Proposal?
“Proposal” bermakna “usulan” yang
merupakan hasil dari kegiatan “mengusulkan” atau “propose” dalam
bahasa Inggris. Dengan demikian proposal adalah merupakan suatu usulan atau
rencana yang memerlukan persetujuan dari pihak lain sebelum dilaksanakan. Isi
proposal dapat berupa rancangan kegiatan, dana, pelaksana, dan lain
sebagainya.
Apa tujuan proposal?
Proposal bertujuan untuk memberikan gambaran
atau deskripsi tentang suatu rencana kegiatan secara lengkap, jelas, singkat,
dan mudah dimengerti sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang memberikan
persetujuan atas kegiatan yang diusulkan. Sudah barang tentu keberhasilan suatu
proposal ialah disetujui oleh pengambil keputusan yang berwewenang.
Apa yang dimaksud dengan Proposal Penelitian?
Proposal Penelitian ialah usulan yang berisi
rencana kegiatan penelitian yang disajikan secara tertulis untuk memperoleh
persetujuan dari pihak yang berwewenang. Pihak yang berwewenang di sini dapat
saja seperti lembaga/instansi yang akan mensponsori atau membiayai penelitian
tersebut, tempat atau sasaran penelitian, dan lembaga/instansi yang meminta
dilakukannya penelitian. Untuk keperluan penulisan skripsi, proposal
penelitian diperlukan untuk memperoleh persetujuan dari Ketua Jurusan atau
Ketua Program Bidang Studi.
Apa isi Proposal Penelitian?
Proposal penelitian mengemukakan dua hal
pokok yaitu (1) masalah yang akan diteliti, dan (2) metodologi
penelitian.
Masalah Penelitian.
Masalah penelitian adalah sesuatu yang ingin
diketahui atau dipecahkan/diatasi oleh peneliti melalui prosedur ilmiah. Dengan
demikian maka masalah penelitian perlu dirumuskan secara jelas dan operasional.
Agar menjadi jelas serta untuk memperlihatkan kedudukan dan pentingnya
diketahui atau dipecahkan, maka masalah itu perlu diberikan latar
belakang dengan memberikan informasi pendahuluan tentang situasi tempat
dan waktu masalah itu terjadi. Latar belakang ini juga hendaknya dapat
memberikan gambaran yang jelas tentang berbagai kesenjangan yang terjadi dan
yang mungkin terjadi beserta akibatnya kalau masalah itu tidak diekatahui dan
diatasi. Oleh karena itu dalam mengawali suatu penelitian, yang utama dan
terutama dilakukan ialah mengidentifikasi masalah. Kejelasan masalah akan
membantu peneliti untuk memilih dan menentukan metodologi penelitian yang
tepat.
Metodologi penelitian
Metodologi penelitian ialah ilmu tentang
metode-metode yang dipergunakan dalam penelitian. Oleh karena metodologi
penelitian menawarkan berbagai metode dalam melakukan suatu penelitian, maka
peneliti perlu memilih metode yang tepat dalam arti efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan penelitiannya. Dengan demikian acuan utama dalam memilih metode
penelitian ialah masalah pebelitian. Bukan menentukan metode penelitian
terlebih dahulu baru merumuskan masalah penelitian.
Unsur-unsur apa saja yang perlu diperhatikan
dalam menentukan masalah penelitian?
Pilihlah bidang penelitian
yang diminati atau yang menarik bagi Anda sebagai peneliti. Misalnya di bidang
media pembelajaran, organisasi belajar, dan lain-lain yang relevan dengan
bidang studi Teknologi Pembelajaran.
Pilihlah masalah yang
menarik perhatian Anda dan Anda memiliki pengetahuan dan wawasan yang
cukup tentang masalah itu. Misalnya masalah tentang desain, pengembangan,
pemanfaatan, pengelolaan, atau evaluasi dalam proses dan sumber-sumber belajar.
Yakini bahwa terdapat teori yang
cukup untuk mengkaji, menganalisis, atau mengevaluasi masalah yang hendak Anda
teliti. Hal ini diperlihatkan juga dengan melengkapi Proposal Penelitian dengan
Daftar Pustaka.
Yakini bahwa Anda dapat mengumpulkan dan
memperoleh data tentang masalah yang akan Anda teliti.
Yakini bahwa masalah yang Anda pilih belum
pernah diteliti orang lain dengan objek dan tempat yang sama.
Yakini bahwa tersedia waktu yang
cukup untuk melakukan penelitian sesuai dengan target waktu yang ditetapkan
mulai dari pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan analisis data sampai ke
penulisan laporan penelitian. Penelitian untuk skripsi sebaiknya ditargetkan
selesai dalam enam bulan atau satu semester.
Yakini tersedia pembimbing dari
segi materi dan metodologi penelitian yang memiliki keahlian yang sesuai dengan
bidang penelitian Anda.
Bagaimana format Proposal Penelitian disusun?
Ada berbagai maacam format Proposal Penelitian
dilihat dari sistematika dan isi serta kelengkapan proposal. Format
Proposal Penelitian lazimnya ditentukan oleh:
Kesepakatan dalam lembaga/instansi/kelempok.
Oleh karena itu format Proposal Penelitian antar perguruan tinggi atau antar
fakultas, bahkan antar jurusan dapat saja berbeda. Akan tetapi setdak-tidaknya
dalam satu jurusan sebagai unit terkecil di satu perguruan tinggi hendaknya
sama.
Tujuan Proposal Penelitian. Proposal penelitian
untuk keperluan memperoleh sponsor dan dana dapat berbeda dengan proposal
penelitian untuk keperluan penulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Untuk
Proposal Penelitian untuk keperluan memenuhi persyaratan akademis biasanya
tidak memuat rincian dana yang diperlukan serta sumber dana untuk penelitian
yang diusulkan.
Jenis penelitian. Proposal Penelitian yang
menggunakan paradigma kuantitatif dapat berbeda dengan yang menggunakan
paradiga kualitatif. Demikian juga format Proposal Penelitian untuk penelitian
eksperimen dapat berbeda dengan penelitian survei.
Organisasi profesi. Format Proposal Penelitian
yang disepakati dan dipergunakan antar organisasi profesi dapat
juga berbeda satu sama lain Misalnya, The Association for Educational;
Communication and Technology menyepakati format Proposal Penelitian (AECT,
1995), yang berbeda dengan American Pscychological Association (APA), atau
dengan . Modern Language Association (MLA). Di Indonesia format
penelitian yang dipergunakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berbeda
dengan Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), atau dengan Persatuan
Insinyur Indonesia (PII).
Format yang mana pun dipergunakan, suatu
Proposal Penelitian pada hakikatnya setidak-tidaknya mengandung dua unsur utama
yang dikemukakan sebelumnya yaitu (1) masalah dan (2) metodologi. Pengembangan
kedua unsur tersebut dalam Proposal Penelitian dapat berbeda. Kelayakan
suatu Proposal Penelitian dapat dilihat sejauh mana kejelasan kedua unsur
tersebut diuraikan.
Apa isi pokok Proposal Penelitian yang berlaku
di AECT?
Pendahuluan.
Pendahuluan menjelaskan secara ringkas
(1) latar belakang masalah,
(2) masalah,
(3) teori yang berkaitan dengan masalah,
(4) variable yang diteliti, dan
(5) pertanyaan-pertanyaan spesifik yang
diajukan dalam penelitian.
Metode dan Sumber Data.
Bagian ini menjelaskan
(1) metode penelitian yang akan
dipergunakan termasuk populasi, responden, teknik pengumpulan data dan
instrumen pengumpulan data, dan teknik analisis data;
(2) dalam penelitian eksperimen disebutkan
desain eksperimen, variable bebas dan variable terikat dan cara melakukan
eksperimen itu; untuk penelitian kualitatif diutaikan konteks/latar, orientasi,
pemeriksaan validitas, dan tujuan;
(3) bahan dan alat serta teknik-teknik
khusus yang dipergunakan dalam penelitian; dan
(4) urutan langkah-langkah yang akan ditempuh
termasuk urutan langkah-langkah dalam pengumpulan data.
(5) Jadwal kegiatan penelitian secara rinci,
mulai dari penyusunan dan pengajuan proposal, kajian teori, penyusunan
instrumen, pengumpulaan data, pengolahan data, serta penyusunan laporan
penelitian
Hasil Penelitian
Bagian ini mengemukakan secara singkat hasil
serta manfaat yang diharapkan dari penelitian serta menunjukkan pentingnya
dilakukan penelitian yang diusulkan.
Diskusi dan Implikasi.
Bagian ini menguraikan lebih lanjut tentang
hasil yang diharapkan dari penelitian ini dengan memberikan penjelasan tentang
keunikan penelitian serta perbedaannya dengan penelitian-penelitian sejenis
sebelumnya serta implikasinya dalam pendidikan pada umumnya serta dalam
teknologi pembelajaran pada khususnya.
Berapa panjang Proposal Penelitian dituliskan?
Seperti dikemukakan sebelumnya, tujuan
penulisan proposal ialah sebagai bahan pertimbangan dalam memberikan
persetujuan atas pelaksanaan penelitian yang diusulkan. Dilihat dari
kepentingan ini maka suatu proposal itu hendaknya dapat meyakinkan pihak yang
berwewenang memberikan persetujuan, yang berarti isi proposal hendaknya logis,
meyakinkan perlu serta berguna dilaksanakan dalam pengembangan teori dan
atau praktik di bidang teknologi pembelajaran.
AECT memberi batasan panjang Proposal
Penelitian berkisar 1000 kata atau berkisar empat halaman dengan pemikiran
bahwa tersedia kesempatan untuk mempresentasikan Proposal Penelitian itu dalam
pertemuan tatap muka. Dalam hubungannya dengan proposal penelitian untuk
penulisan skripsi, tesis, atau disertasi, ada kesempatan untuk
mempresentasikannya dalam Seminar Proposal Penelitian atau setidak-tidaknya ada
kesempatan untuk menjelaskannya kepada Ketua Program Studi.
9. Perisapan apa yang diperlukan dalam menyusun
Proposal Penelitian untuk penulisan skripsi?
Hal-hal yang perlu dipersiapkan.
Tentukan bidang dan masalah yang hendak
diteliti dalam kawasan teknologi pembelajaran.
Kreatif dan inovatif dalam menentukan bidang
dan masalah penelitian dengan menghindari bidang, jenis, dan masalah penelitian
yang sudah sering/banyak dilakukan
Batasi ruang lingkup masalah penelitian dari
aspek jenis masalah, variable, tingkat dan jenjang pendidikan, populasi dan
responden, dan tempat penelitian.
Cari teori yang terkait dengan masalah itu.
Review/kaji penelitian-penelitian yang pernah
dilaksanakan dalam bidang dan masalah yang telah dipilih.
Pertimbangkan kemungkinan dan kelayakan
penelitian dilihat dari sumber-sumber teori, sumber data, dana, dan waktu.
Diskusikan masalah penelitian itu dengan teman
atau dosen/peneliti yang berpengalaman dalam bidang tersebut.
Pegang teguh bahwa Anda aalah pemilik dan
penanggung jawab pelaksanaan dan hasil penelitian. Pemikiran orang lain adalah
sebagai masukan untuk memantapkan Anda mengambil keputusan dalam menyusun
Proposal Penelitian serta melaksanakannya kemudian hari.
Contoh Proposal
Penelitian
Halaman
|
||
DAFTAR ISI
|
||
BAB I
|
PENDAHULUAN.......................................................................
|
1
|
1.1. Latar Belakang
Penelitian....................................................
|
1
|
|
1.2. Identifikasi
Masalah.............................................................
|
5
|
|
1.3. Batasan
Masalah...................................................................
|
6
|
|
1.4. Rumusan
Masalah................................................................
|
7
|
|
1.5. Tujuan
Penelitian..................................................................
|
7
|
|
1.6. Kegunaan
Penelitian.............................................................
|
8
|
|
BAB II
|
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN
DAN
HIPOTESIS........................................................................
|
9
|
2.1. Kajian
Pustaka.....................................................................
|
9
|
|
2.2. Kerangka
Pemikiran.............................................................
|
31
|
|
2.3. Hipotesis...............................................................................
|
37
|
|
BAB III
|
METODE
PENELITIAN............................................................
|
39
|
3.1. Model dan Disain
Penelitian...............................................
|
39
|
|
3.2. Operasionalisasi
Variabel....................................................
|
41
|
|
3.3. Sumber dan Jenis
Data.........................................................
|
42
|
|
3.4. Teknik Pengumpulan Data………………………………...
|
43
|
|
3.5. Rancangan Analisis dan Uji Hipótesis…………………….
|
44
|
|
3.6. Metode Analisis
Data...........................................................
|
50
|
|
DAFTAR PUSTAKA
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan adalah unit
Audit Internal Departemen Keuangan, yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan
Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia, dengan tugas melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan Departemen Keuangan. Tugas
pengawasan sebagaimana dimaksud Perpres 10/2005, dijabarkan lebih lanjut
melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor l00/PMK.0l/2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Departemen Keuangan, yang di dalamnya mengatur mengenai organisasi,
tugas, dan fungsi unit-unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan termasuk
Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.
Dalam menjalankan tugas pengawasan, Inspektorat
Jenderal Departemen Keuangan bertanggung jawab langsung kepada Menteri
Departemen Keuangan. Audit Internal ini wajib memberikan informasi yang
berharga bagi manajemen entitas dan pimpinan Departemen untuk pengambilan
keputusan. Guna mencapai hal tersebut, Inspektorat Jenderal dituntut untuk
memberdayakan Auditornya agar memberi kontribusi yang berarti dalam
meningkatkan kinerjanya dan secara berkesinambungan melakukan kajian yang
mendalam mengenai pelaksanaan audit yang memadai dengan pertimbangan esensi
pengertian audit itu sendiri.
Standar profesional akuntan Publik (2004:322.1)
mengharapkan tanggungjawab Auditor Internal sebagai berikut:
“Auditor Internal bertanggungjawab untuk menyediakan
jasa analisis dan evaluasi, memberikan keyakinan dan rekomendasi dan informasi
lain kepada manajemen entitas dan dewan komisaris atau pihak lain yang setara
wewenang dan tanggung jawab tersebut, Auditor Internal mempertahankan
objectivitasnya yang berkaitan dengan aktivitas yang diauditnya. Tidak jarang
seorang Auditor Internal menasehati seorang manajer tentang hal-hal yang
menyangkut operasional dalam rangka untuk memperbaiki kinerjanya.”
Audit yang dilaksanakan Inspektorat Jenderal merupakan
suatu kegiatan penilaian yang independen yang dibentuk di dalam organisasi
pemerintah, yang dilaksanakan oleh para Auditor Internal, yang secara generik
disebut di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah
(APIP). Audit merupakan proses pengamanan atas pelaksanaan semua kegiatan yang
dilakukan oleh Auditor Internal, untuk kemudian menilai apakah kegiatan telah
sesuai dengan rencana yang ditetapkan, serta ketentuan yang ada telah ditaati
dan dilaksanakan secara baik, sehingga tujuan pemerintah dapat tercapai secara
efektif.
Auditor Internal harus melaksanakan tugasnya dengan
bebas jika bagian ini diberikan kedudukan/status dalam organisasi perusahaan
dan tidak dibebankan pekerjaan yang menjadi objek auditnya, dengan demikian
objektifitas dapat terjamin (cambers & Gerald, 1995:332).
Para Auditor Internal dianggap mandiri apabila mereka
dapat melaksanakan pekerjaannya secara bebas dan objektif. Hal mana sangat
penting adalah kemandirian para Auditor Internal dalam memberikan
penilaian-penilaian yang tidak memihak dan berprasangka dan tidak terlibat
dengan pekerjaan auditannya. Oleh karenanya unit Audit Internal ini harus
memberikan keleluasaan kepada Auditornya untuk memenuhi atau menyelesaikan
tanggungjawab audit yang diembankan kepadanya. Hal ini dapat dicapai melalui
status organisasi Audit Internal dan kemandirian Auditor Internal itu sendiri.
Seperti hasil Penelitian Sekaran Mayangsari (Simposium
Nasional Akutansi VI:2003) menunjukkan bahwa lamanya hubungan manajer dengan
Auditor dapat mengganggu independensi serta keakuratan Auditor dalam
menjalankan tugas audit.
Audit Internal yang efektif harus memiliki karakteristik
independen dan didukung oleh sumberdaya yang memadai dan kompeten. Hal ini
dikarenakan tuntutan terhadap peran Auditor Internal yang semakin meluas dengan
perubahan paradigma Auditor Internal (Hiro:2004), sebagai berikut:
Tabel 1.1
Paradigma Auditor Internal
Konsep Kunci Pengertian Audit Internal (1947)
|
Konsep Kunci Pengertian Audit Internal (1999)
|
1. Fungsi penilaian independen
yang dibentuk dalam suatu organisasi.
|
1. Suatu aktivitas independen
yang objektif.
|
2. Fungsi penilaian.
|
2. Aktivitas pemberian jaminan
keyakinan dan konsultasi.
|
3. Mengkaji dan mengevaluasi aktivitas organisasi
sebagai bentuk jasa yang diberikan bagi organisasi.
|
3. Dirancang untuk memberikan suatu nilai tambah
serta meningkatkan kegiatan operasi organisasi.
|
4. Membantu agar anggota organisasi dapat
menjalankan tanggung- jawabnya secara efektif.
|
4. Membantu organisasi dalam usaha mencapai
tujuan.
|
5. Memberikan hasil analisis, penilaian,
rekomendasi, konselling dan informasi yang berkaian dengan aktivitas yang
dikaji dan menciptakan pengendalian efektif dengan biaya yang wajar.
|
5. Memberikan suatu pendekatan disiplin yang
sistematis untuk mengevaluasi dan meningkatkan keefektifan manajemen resiko,
pengendalian dan proses pengaturan dan pengelolaan organisasi.
|
Menyadari pentingnya kompetensi Auditor Internal, banyak
organisasi berupaya merekrut, menempatkan dan mengembangkan pegawainya secara
hati-hati dan terprogram. Tetapi tampaknya masih banyak organisasi baru dalam
hal merekrut dan menempatkan pegawainya pada unit atau bagian Auditor Internal
kurang memperhatikan aspek pendidikan formal ataupun pendidikan teknis disiplin
ilmu yang relevan dengan bidang audit.
Ashton (1991) mengatakan bahwa pengalaman dan pengetahuan
memainkan peranan penting dalam menentukan suatu keahlian, dan menurut Bernadi
(1994) bahwa integritas dan keahlian merupakan faktor yang mendukung kemampuan
Auditor untuk mendeteksi kecurangan.
Dengan demikian secara tentatif terhadap keterkaitan
antara independensi dan kompetensi Auditor Internal akan mempengaruhi
terciptanya pelaksanaan audit yang berkualitas. Namun demikian, belakangan ini
banyak pihak, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan,
dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, mempertanyakan Independensi dan
kompetensi Auditor Internal Departemen sehubungan dengan tidak munculnya
kepermukaan temuan-temuan audit yang menonjol, terutama temuan yang terkait
dengan tindak pidana korupsi, sehingga timbul wacana membubarkan Inspektorat
Jenderal dan meleburkannya menjadi satu dengan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan.
Berdasarkan issue di atas, penulis merasa perlu untuk
mengadakan penelitian tentang “Pengaruh Independensi dan Kompetensi
Auditor Internal terhadap Kualitas Pelaksanaan Audit”, dan survei dilakukan
pada Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat
diidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan kualitas pelaksanaan audit
sebagai berikut:
a. Masalah Independensi:
1) Hubungan keorganisasian serta lingkungan organisasi mempengaruhi
independensi Auditor saat melakukan audit;
2) Hubungan antar personal menjadikan Auditor Internal kurang objektif dalam
mengungkapkan hasil audit.
b. Masalah Kompetensi:
1) Pegawai yang diangkat untuk melaksanakan audit tidak memiliki kompetensi di
bidang audit;
2) Pendidikan keahlian yang berkesinambungan untuk meningkatkan
Profesionalitas Auditor Internal tidak direncanakan secara baik;
3) Auditor kurang berpengalaman dalam mengaudit dikarenakan adanya tebang
pilih dalam penugasan audit.
1.3. Batasan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian akan
dilakukan terhadap masing-masing faktor guna mendapatkan penjelasan dan
pemahaman mengenai hubungan tiap-tiap faktor tersebut dengan kualitas
pelaksanaan audit. Karena adanya keterbatasan waktu, dana, tenaga,
teori-teori, dan agar penelitian dapat dilakukan secara mendalam, maka
penelitian ini dibatasi pada permasalahan sebagaimana yang telah
diidentifikasikan di atas. Fokus penelitian ini untuk meneliti pengaruh
independensi dan kompetensi Auditor Internal terhadap kualitas pelaksanaan
audit dan survey dilakukan pada Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas,
maka dapat diidentifikasikan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah independensi Auditor Internal berpengaruh terhadap kualitas
pelaksanaan audit?
2. Apakah kompetensi Auditor Internal berpengaruh terhadap kualitas
pelaksanaan audit?
3. Apakah independensi dan kompetensi secara simultan berpengaruh terhadap
kualitas pelaksanaan audit?
1.5. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk membuktikan pengaruh positif independensi dan kompetensi Auditor
Internal secara parsial berpengaruh terhadap kualitas pelaksanaan audit pada
Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.
2. Untuk membuktikan pengaruh independensi dan kompetensi Auditor Internal
secara simultan berpengaruh terhadap kualitas pelaksanaan audit pada
Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan.
1.6. Kegunaan Penelitian
Kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah:
a. Kegunaan praktis
1) Bagi Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
para Auditor, sehingga Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan dapat melakukan
pelatihan pendidikan secara berkelanjutan guna meningkatkan kompetensi Auditor
serta meninjau kebijakan-kebijakan agar lebih mempertahankan independensi Auditor.
2) Bagi pemerintah, khususnya diharapkan dapat memberikan gambaran tentang
independensi dan kompetensi Auditor Internal serta menjelaskan pengaruhnya
terhadap kualitas pelaksanaan audit.
b. Kegunaan Teoritis
1) Memberikan bukti empiris mengenai pengaruh independensi dan kompetensi
Auditor Internal terhadap kualitas pelaksanaan audit.
2) Sebagai bahan kajian lebih lanjut mengenai penelitian dan pengembangan
ilmu akutansi, khususnya bidang auditing, dalam kaitannya dengan independensi
dan kompetensi Auditor Internal terhadap kualitas pelaksanaan audit.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1. Pengertian Auditing
Arens & Loebbecke (2000;2), menyatakan
bahwa:
“Auditing is the accumulation and
evaluation of evidence about information to determine and report on the degree
of correspondence between the information and established criteria. Auditing
should be done by a competent, independent person”.
Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian
bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi
yang dilakukan seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan
melaporkan kesesuaian informasi tersebut dengan kriteria-kriteria yang telah
ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independen.
Untuk melaksanakan audit, diperlukan informasi yang
dapat diverifikasi dan sejumlah standard (criteria) yang digunakan sebagai
pegangan dalam pengevaluasian informasi tersebut. Informasi harus dapat diukur
agar dapat diverifikasi. Informasi memiliki berbagai bentuk, sedangkan kriteria
untuk mengevaluasi informasi kuantitatif cukup beragam dan audit perlu
dilakukan oleh orang yang kompeten.
Seorang auditor internal harus memiliki kemampuan
pemahaman akan kriteria yang digunakan, serta mampu menentukan jumlah bukti
yang diperlukan untuk mendukung kesimpulan yang diambilnya. Auditor harus
mempunyai sikap mental yang independen (independent mental attitude).
Sekalipun ia ahli, apabila tidak mempunyai sikap independen dalam mengumpulkan
informasi akan menjadi tidak berguna, sebab informasi yang digunakan untuk
pengambilan keputusan menjadi bias.
Penyusunan laporan audit merupakan alat untuk
menyampaikan informasi kepada para pemakai laporan tersebut. Pada hakekatnya
laporan tersebut harus mampu memberikan informasi mengenai kesesuaian
informasi-informasi yang diperiksa dengan kriteria yang telah ditetapkan.
Menurut Arens & Loebbecke (2004:4), ada 3 (tiga)
jenis laporan keuangan, yaitu:
1. Financial
Statement Audit.
2. Operational
Audit.
3. Compliance
Audit.
Uraian di atas adalah:
1. Audit
Laporan Keuangan bertujuan menentukan apakah laporan keuangan telah disajikan
sesuai prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Audit
Operasional bertujuan untuk menilai efisiensi dan efektifitas kegiatan
organisasi.
3. Audit
Ketaatan bertujuan untuk mempertimbangkan ketaatan klien dalam mengikuti
prosedur atau aturan yang telah ditetapkan oleh pihak yang memiliki otoritas.
2.1.2. Audit Internal
2.1.2.1 Pengertian Audit Internal
Audit internal merupakan bagian dari suatu organisasi
yang integral, yang menjalankan fungsinya berdasarkan kebijakan yang telah
ditetapkan dan memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan kontribusi
kepada pihak manajemen organisasi dan pemeriksa ekstern.
Menurut Internal Standards for The Professional
Practice of Internal Auditing (2004:29), bahwa:
“Internal auditing is an independent,
objective assurance and consulting activity designed to add value and improve
an organization’s operations. It helps an organization accomplish its
objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and
improve the effectiveness of risk management, control and governance processes.
Konsep definisi baru tersebut menekankan bahwa audit
internal adalah kegiatan assurance and consultingyang
independen dan objektif, yang dirancang untuk memberi nilai tambah serta
meningkatkan kegiatan operasi perusahaan. Audit internal membantu perusahaan mencapai
tujuannya, melalui suatu pendekatan yang sistematis dan teratur dengan
mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko, pengendalian dan
pengaturan.
Oleh karenanya audit internal disamping memberikan
layanan utama dalam bidang audit, seringkali memberikan layanan tambahan yang
berkaitan dengan audit, antara lain mendidik para manager dalam pengelolaan dan
pengendalian kinerja, mengelola hubungan dengan para auditor. Pemahaman yang
lebih baik akan audit internal, adalah dengan mengerti bahwa audit internal
merupakan suatu pengendalian perusahaan yang berfungsi mengukur dan
mengevaluasi efektivitas pengendalian lain yang ada dalam perusahaan.
Pengendalian lain yang dimaksud disini adalah pengendalian manajemen yang
dilakukan manajemen perusahaan untuk menjamin bahwa tujuan perusahaan tercapai.
Berikut ini dikemukakan pendapat beberapa pakar
mengenai pengertian audit internal, sebagai berikut:
Pickert dan Spencer (2000:10) yang menyatakan bahwa :
“Internal auditing is an independent
appraisal function established within an organization as a service to the
organization. The objective of internal auditing is to assets members of
organization and on the board, in the effective discharge of their
responsibilities. To this end it furnishes them with analysis, appraisals,
recommendations, counsel, and information concerning the activate reviewed”.
Audit internal menurut Sacramento Valley Farm Credit,
ACA (2004:3), menyatakan bahwa:
“Internal Audit is a management control,
which operates by evaluating the measures implemented to achieve the following
objectives :
1. Activities are conducted in a controlled and efficient
manner and achieve result consistent with planned objectives and goals;
2. Information used for measuring performance and managing
risks, as well as for preparing financial statement is reliable and has
integrity;
3. Procedures designed to ensure compliance with legal,
regulatory and professional requirements, management instructions and implied
intention are properly applied;
4. Decision made, by those authorized, are based on
adequate and sound information;
5. Transaction, income, expenditures, liabilities and
assets are completely recorded;
6. Assets are safeguarded; and
7. Operational activities and the use of resources maximize
safety, economy, efficiency and effectiveness.
Hampir semua definisi mengenai auditor internal
memiliki satu kesamaan, yaitu auditor internal sebagai pelayanan independen
yang membantu pencapaian tujuan perusahaan dengan cara mengevaluasi pengendalian
manajemen dan mereviu informasi, yang bekerja secara bebas tanpa diinterfensi
pihak-pihak yang berkepentingan, memperoleh jaminan/kepastian wewenang dan
tanggung jawab melalui formalisasi kebijakan dan prosedur audit, serta memiliki
akses yang memadai terhadap fasilitas, catatan dan personil, agar auditor dapat
memberikan penilaian yang tidak bias dan menyampaikan rekomendasi yang memiliki
nilai tambah bagi perusahaan. Selain itu, auditor internal juga dapat
memberikan secara langsung dukungan kepada manager selama pekerjaan audit
dilaksanakan, serta pada saat penyelesaian laporan dan ditindaklanjutinya hasil
audit.
2.1.2.2. Fungsi Audit Internal
Fungsi audit internal adalah memberikan jasa assurance
and consulting secara objective and independent,
yang dirancang untuk memberi nilai tambah dan meningkatkan operasi perusahaan
(Internal Standards for The Professional Practice of Internal Auditing, 2004:29).
Fungsi audit juga lebih metekankan pada operasi dan proses kegiatan dari pada
administrasi dan pegawai perusahaan.
Fungsi audit internal menurut Sawyer (2003:297),
adalah:
“a functional audit is one that follows
a process from beginning to end, crossing organizational lines. Functional
audits tend to concentrate more on operations and processes than on administration
and people. They seek to determine how well all the organizations concerned
with a function will interface and cooperate”.
Sacramento Valley Farm, ACA (2004:4) mendefinisikan
pula fungsi audit internal sebagai berikut:
“The Internal Audit Function is an
independent and objective audit and review function designed to seek out
challenges facing entity by providing Internal Audit Service (risk assessment,
direct audits, self assessment, investigations, internal control consultation,
etc)”.
Dalam hubungannya dengan Fraud Administrative Affairs
Internal Audit dalam Internal Audit Function (2005:7), disebutkan bahwa:
“Deterrence of fraud is the
responsibility of management. The Internal Audit Function is responsible for
examining and evaluating the adequacy and the effectiveness of action taken by
management to fulfill this obligation”.
Dari pernyataan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
yang bertanggung jawab mencegah fraud adalah manajemen. Fungsi
Audit Internal hanya bertanggung jawab terhadap pengujian dan evalusi dan
efektifitas tindakan yang diambil oleh manajemen dalam memenuhi
tanggungjawabnya.
Audit internal melaporkan kepada pimpinan yang
memberikannya kewenangan dan secara administratif melapor kepada pimpinan
manajemen dan direktur utama. Pada prinsipnya pimpinan audit internal memiliki
kewajiban pelaporan yaitu (a) pelaporan fungsional (functional reporting)
dan (b) pelaporan administratif (administrative reporting). Berikut
penjelasannya:
a. Pelaporan
Fungsional (Functional Reporting) adalah kewajiban pelaporan kepada
siapa audit internal mendapatkan kewenangannya. Konsorsium Organisasi Profesi
Audit Internal berpendapat bahwa pimpinan fungsi audit internal secara
fungsional agar melapor kepada Pimpinan Organisasi, Dewan Direksi, Komite Audit,
dan otoritas lainnya yang merupakan sumber yang berkaitan dengan pemberian
wewenang.
b. Pelaporan
Administratif (Administrative Reporting) adalah hubungan pelaporan
kepada siapa fungsi audit internal mendapatkan dukungan administrative untuk
menjalankan aktivitasnya sehari-hari.
Masalah pelaporan sangat berpengaruh terhadap
independensi serta efektifitas operasi fungsi auditor internal. Oleh karenanya,
auditor internal perlu merevieu secara serius system pelaporan tersebut.
Board of Governors of the Federal Reserve System (2003:1),
menyatakan bahwa:
“Effective internal control is a
foundation for the save and sound operation of a financial institution. The
board of director and senior management of an institution are responsible for
ensuring that the system of internal control operates effectively. Their
responsibility cannot be delegated to others within the institution or to
outside parties. An important element in assessing the effectiveness of the
internal control system is an internal audit function”.
Berdasarkan uraian di atas, tanggung jawab auditor
internal dalam perusahaan harus dinyatakan secara tegas melalui kebijakan
manajemen. Fungsi audit lebih ditekankan terhadap kegiatan operasional dan
menilai kebijaksanaan, rencana-rencana, prosedur-prosedur dan catatan-catatan.
Dengan tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kepada auditor internal, maka
auditor internal dapat melakukan tugas serta fungsinya dalam rangka untuk
menilai dan menelaah atau mempelajari semua kegiatan audit.
Disamping itu peranan auditor internal sangat penting
dalam perusahaan, karena melalui audit ini pimpinan mendapat informasi tentang
hal-hal yang perlu dicegah maupun diperbaiki. Namun fungsi yang sangat menonjol
dari audit internal adalah sebagai alat bantu di dalam menunjang pelaksanaan
fungsi pengendalian bagi manajemen.
2.1.2.3. Independensi Auditor Internal
Independensi adalah sesuatu yang sangat mendasar bagi
efektifitas audit internal. Saat seseorang memulai karirnya sebagai auditor,
biasanya independensi didefinisikan sebagai kebebasan yang melekat pada
dirinya, lingkup yang tak terbatas, kewenangan untuk memeriksa apapun dan
kapanpun, kebebasan untuk menyatakan sesuatu seperti apa adanya sesuai dengan
data yang diperolehnya dengan dukungan penuh dari atasan. Namun pada
kenyataannya, terlebih sebagai auditor internal, sesungguhnya ia harus
menghadapi suasana yang kurang kondusif dan berbagai macam hambatan dalam
pelaksaaan kegiatan auditnya. Independensi yang dimiliki auditor internal
berbeda dengan auditor ekternal, yang dalam beberapa literatur bahkan disebut
sebagai auditor yang independen.
Menurut The Institute of Internal Auditors, yang
dikutif oleh Moeller (2004:169), adalah sebagai berikut:
“Independence is the freedom from
significant conflicts of interest that threaten objectivity such threats to
objectivity must be managed at the individual auditor level, the engagement
level, and organizational level”.
Sedangkan menurut Arens & Loebbecke (2000:83)
mengenai independensi adalah sebagai berikut:
“Independence in auditing means taking
an unbiased viewpoint in performing audits tests, evaluating the results the
audit report. Independence is regarded as the auditors most critical
characteristic”.
Independensi merupakan masalah perilaku pengambilan
keputusan yang selalu dihadapi oleh auditor. Problem independensi sering muncul
bila terjadi konflik antara pihak auditor dengan manajemen. Pengambilan
keputusan pun menjadi bias apabila independensi tidak ditegakkan. Konsep
independensi merupakan konsep yang integral dengan kode etik dan standard
praktek profesi (Mautz & Sharaf: 1993).
Seperti menurut The Institute of Internal Auditors
yang dikutip oleh Chambers dan Gerald (1995:332) adalah sebagai berikut:
“Internal Auditor are independence when
they can carry out their work freely and objectively. Independencepermits
internal auditor to render the impartial and unbiased judgment essential to the
proper conduct of audit it is achieved though organizational status
objectivity”.
Audit Internal harus independen dari aktivitas pihak
yang diperiksa, sehingga akan menjamin adanya independensi dalam melaksanakan
fungsinya. Independen berarti bebas dari semua ketergantungan termasuk di dalam
bidang keuangan. Bilamana bagian audit internal masih merupakan bagian dari
badan usaha tersebut, maka ia harus melepaskan sebagian dari independensinya.
Audit dilaksanakan secara independen dalam segala situasi yang dihadapinya,
agar tidak melakukan kompromi mengenai pekerjaan auditnya.
Independen bukan hanya semboyan saja, tetapi merupakan
suatu keadaan yang diperlukan agar organisasi audit internal dapat eksis dan
berfungsi dengan benar. Oleh karena itu dibutuhkan integritas, objektivitas
yang tinggi, serta suatu pribadi yang tidak mudah dipengaruhi. Hal tersebut di atas tidak akan tercapai tanpa
adanya independensi. Oleh karena itu penting sekali adanya ketentuan yang
mengatur berbagai hal mengenai objektivitas dan usaha untuk menghindarkan
auditor dari ketergantungan pada orang-orang yang aktivitasnya diaudit.
Standard for the Professional Practice of Internal
Auditing tahun 2000 yang dikutip oleh Sawyer (2003:1149), mengatakan bahwa:
“Independence, internal auditors should
be independent of the activities they audit, Organizational status, internal
auditing department should be sufficient to permit the accomplishment of its
audit responsibilities. Objectivity, internal auditor should be objective in
performing audits”.
Independensi auditor intern memiliki dua aspek yaitu
pemisahan organisasional dari aktivitas yang diperiksa serta status dan kewenangan
yang memadai dalam organisasi secara keseluruhan. Pemisahan organisasi akan
melindungi auditor intern dari rasa keberpihakan, ketakutan, loyalitas serta
berbagai ambisi yang dapat berpengaruh terhadap aktivitas yang diperiksa.
Disamping itu, pemberian status organisasi yang memadai akan memberi kekuatan
dan modal bagi audit internal sehingga ia dapat melaksanakan dan menjalankan
pekerjaannya secara efektif.
1. Status Organisasi
Kedudukan organisasi dari bagian auditor internal yang
diberikan, merupakan salah satu dukungan terhadap kemandirian. Pimpinan
Organisasi atau dewan direksi merupakan pihak yang berkepentingan terhadap
perusahaan yang dapat menentukan status bagian auditor internal dalam struktur
organisasi.
Struktur organisasi yang baik untuk bagian auditor
internal adalah struktur yang menempatkan bagian tersebut berada langsung di
bawah dan tanggung jawab pimpinan yang bertanggung jawab terhadap seluruh
personal organisasi yang memiliki kewewenangan untuk mewujudkannya. Audit
internal harus ditempatkan pada suatu kedudukan organisasi yang tepat dan dapat
bertindak secara efektif, agar dapat bersikap independen.
The Institute ofInternal Auditor yang dikutip oleh Chambers
(1995:332), mengatakan bahwa:
“Internal auditor are independent when they
can carry out their work freely and objectivity. Independence per
mints internal auditor to render the impartial and unbiased judgments essential
to the proper conduct of audits it is achieved organizational status
objectivity”.
Sedangkan menurut Tuanakotta (1982:5),
bahwa:
“Keberhasilan dalam melaksanakan tugas pemeriksaan
intern banyak tergantung dari kedudukan pemeriksaan intern dalam bagan
organisasi, tanggapan pimpinan perusahaan terhadap hasil-hasil temuan pemeriksa
intern dan pengertian dari bagian-bagian yang diperiksa mengenai tugas
pemeriksaan intern disamping tentunya keahlian dan pengalaman auditor internal
itu sendiri”.
Status organisasi audit internal harus memberi
keleluasaan dan kemandirian untuk memenuhi atau menyelesaikan tanggung jawab
pemeriksaan yang diberikan, meliputi:
1. Pimpinan
audit internal harus bertanggungjawab terhadap individu di dalam organisasi
serta mempunyai kewenangan yang cukup untuk mewujudkan kemandirian tersebut dan
menjamin luas cakupan pemeriksaan, perhatian yang memadai terhadap laporan
pemeriksaan dan tindakan yang tepat berdasarkan rekomendasi pemeriksaan.
2. Pimpinan
audit internal harus memiliki hubungan langsung dengan pimpinan organisasi.
Koordinasi yang teratur dengan pimpinan organisasi akan membantu terjaminnya
kemandirian dan merupakan sarana semua pihak untuk saling memberikan informasi
demi kepentingan organisasi.
3. Pengangkatan
atau penggantian pimpinan audit internal dilakukan di atas persetujuan pimpinan
organisasi.
4. Tujuan,
kewenangan dan tanggung jawab bagian audit internal harus didefinisikan dalam
dokumen tertulis, yang mencakup:
a. Menyatakan
kedudukan bagian audit internal dalam organisasi;
b. Memberikan
kewenangan untuk dapat mendapatkan dokumen-dokumen, catatan-catatan, personel
dan benda-benda berwujud yang relevan dengan pelaksanaan audit;
c. Mendefinisikan lingkungan kegiatan-kegiatan audit
internal.
5. Pimpinan audit internal setiap tahun harus
mengajukan persetujuan mengenai jadual kegiatan pemeriksaan, susunan auditor,
dan anggaran yang kemudian diinformasikan kepada pimpinan organisasi.
6. Pimpinan audit internal harus memberikan laporan
tentang berbagai kegiatan kepada manajemen senior dan pimpinan organisasi, atau
dalam periode yang lebih singkat jika dirasa perlu.
Menurut Courtemanche (1986:38), mengemukakan bahwa:
“Audit independence relates to
objectivity mainly with respect to emotional bias. Organizational separation
and organizational status can and do free most internal auditors from the aside
which make it difficult for him to see his own activity in a completely
objective manner”.
Pemisahan peran dan status organisasi dapat
membebaskan auditor internal dari suatu kecenderungan emosional terhadap pihak
yang diperiksa. Auditor internal dapat dikatakan independen jika ia dapat bekerja
secara bebas dan objektif.
2. Objektivitas
Objektivitas adalah kemampuan (sikap mental) untuk
memberikan pendapat yang bebas dari pengaruh subjektif dari pihak-pihak yang
berkepentingan. Objektivitas dapat terbentuk bila auditor internal tidak terlibat
dalam penyusunan dan penerapan prosedur, pembuatan catatan-catatan atau
keterlibatan penugasan pada kegiatan lain yang menjadi sasaran auditnya.
Menurut Comunale et al (2004:10), bahwa:
“Objectivity refers to the extent to
which persona is impartial in the formation of his or her perception of the
true state of affairs. That is an objective person perceives the situation
without introduction personal opinion and bias”.
Sedangkan Colbert (1993:12), mengatakan bahwa:
“Objectivity is the quality of being
unbiased or neutral and relates to the ability of the internal audit staff to
resist organizational pressures to alter professional judgments. When assessing
the objectivity of the internal auditors, the external auditors will consider
factors relating to the organizational status of the internal audit function
and the objectivity of the individual personnel”.
Auditor internal harus memiliki sikap mental objektif
dan independen ketika melaksanakan kegiatan audit. Standard for the Personal
Practice of Internal Auditing tahum 2000 yang dikutip oleh Sawyer, buku
Internal Auditing (2003:1156), mengatakan bahwa:
“Internal auditors should be independent
of the activities they audit, the organizational status of the internal
auditing department should be sufficient to permit the accomplishment of its
audit responsibilities, internal auditors should be objective in performing
audits”.
Sedangkan menurut Alvin, Randal dan Mark dalam
bukunya Auditing and Assurance Service (2006:771), mengatakan bahwa:
“Internal auditors exhibit the highest
level of professional objective in gathering evaluating and communicating
information about the activity or process being examined. Internal auditors
make a balanced assessment of all the relevant circumstances and are not unduly
influenced by their own interest or by others in forming judgment”.
Dan menurut Hiro (2006:16), bahwa:
“Objektivitas adalah sikap mental yang bebas yang harus
dimiliki oleh pemeriksa internal”.
Independensi dan objektivitas seringkali digunakan secara
bersama-sama dan banyak audit internal hampir tidak dapat membedakannya.
Objektivitas akan dan apabila auditor intern memiliki sikap mental yang bebas
(Courtemanche: 1986:37).
Dari data empiris tersebut nampak bahwa independensi
audit internal yang menyangkut status organisasi dan objektivitas dengan bidang
pekerjaannya, mempengaruhi kualitas pelaksanaan audit internal.
2.1.2.4. Kompetensi Audit Internal
Fungsi Audit Internal merupakan evaluasi yang
komprehensif atas berbagai aktivitas yang ada dalam perusahaan dan tidak
terbatas hanya kepada masalah keuangan saja, melainkan juga meliputi seluruh
aspek dan aktivitas yang ada di dalam perusahaan. Dengan dasar ini, maka
auditor internal dituntut untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya secara
berkelanjutan, apalagi dengan semakin meningkatnya peran auditor internal yang
bukan hanya sekedar sebagai watchdog tetapi sudah bergeser
perannya menjadi sebagai consultant.
Menurut The Institute of Internal Auditors yang
dikutip oleh Spencer (2000:20), mengatakan bahwa:
“Cognitive skills and behavioral skill
were seen as essential to the performance of audit work. Under cognitive skill
are found things like numeracy, it literacy, precision, problem solving and so
on. Behavioral issues included morality, inquisitiveness, balance, flexibility
and so on, so the new look auditor is able to follow a defined route and solve
problems using analysis and judgment”.
Sedangkan menurut Standard Profesional Akuntan Publik (SA
230.PSA 04.2001), bahwa kompetensi adalah:
“Penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan
seksama menyangkut apa yang dikerjakan auditor dan bagaimana kesempurnaan
pekerjaannya tersebut”.
Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka
auditor internal harus terdiri dari tenaga-tenaga yang cakap, mempunyai pengetahuan,
dan kemampuan teknis.
Kompetensi setiap auditor internal merupakan tanggung
jawab dari bagian audit internal. Pimpinan audit internal dalam setiap
pemeriksaan harus menugaskan orang-orang yang secara bersama atau keseluruhan
memiliki pengetahuan, kemampuan, dan berbagai disiplin ilmu yang diperlukan
untuk melaksanakan pemeriksaan secara tepat dan pantas.
Institute of internal auditors ethical principles and
code of ethics yang dikutip oleh Alvin, Randal and Marks.S (2006:771),
mengatakan bahwa:
“Competency internal auditor apply the
knowledge, skills, and experience needed in the performance of internal
auditing service”.
Sedangkan menurut Hiro (2006:18), bahwa:
“Kompetensi adalah kemampuan profesional merupakan
tanggung jawab dari bagian audit internal dan masing-masing pemeriksa
internal”.
Jika pekerjaan auditor internal didasarkan pada
kepercayaan pihak lain maka kompetensi auditor internal harus dinilai. Bukti
mengenai kualitas kompetensi dapat diperoleh melalui penilaian dari manajemen,
dan hasil revieu dari Quality assurance, sedangkan untuk
mengevaluasi kompetensi auditor internal didasarkan pada pengalaman profesional
dan pendidikan staf auditor internal.
Kompetensi menurut The Institute of Internal Auditor’s
dalam bukunya The Professional Practices Framework (2004:39), menyatakan:
“Internal auditor apply the knowledge,
skills, and experience needed in the performance of internal auditing
services”.
Sedangkan Birkett Cs (1997:111), menyatakan bahwa:
”the competency of internal auditors and
its assessment, and the qualification required of internal auditors.
Professional education and training are available in most countries through
association of internal auditors, public accounting firms,…,and conference
organizer”.
Kompetensi merupakan suatu keahlian yang memadai
dengan mempergunakan jabatannya dengan seksama. Auditor internal harus
mempunyai sifat-sifat yang ahli dalam audit secara teknis, disiplin dan
berpengalaman. Pandangan mengenai kompetensi bagi auditor internal berkenaan
dengan masalah pengetahuan yang bersumber dari pendidikan formal dalam disiplin
ilmu yang relevan, kemampuan atau keahlian serta pengalaman dalam bidang
tugasnya.
A. Pengetahuan
Auditor internal harus memiliki pengetahuan terhadap
bidang tugasnya, pengetahuan yang terkait dengan lingkup auditnya, serta
pengetahuan teknis tentang audit. Selain itu, latar belakang pendidikan auditor
sangat menentukan keahlian dan kompetensi seorang auditor. Menurut SPAI (2004:16), audit internal
harus memiliki pengetahuan, keterampilan dan kompetensi lainnya yang dibutuhkan
untuk melaksanakan tanggung jawab perorangan.
B. Keahlian
Kemahiran profesional diperoleh melalui pendidikan
yang berkelanjutan sesuai dengan bidang tugasnya untuk memenuhi kebutuhan
pengembangan profesinya serta meningkatkan keahliannya. Auditor internal
didorong untuk meningkatkan keahliannya dengan mengikuti program pendidikan
bersertifikasi profesi. Sertifikasi profesi tsb. akan meningkatkan keahlian dan
kompetensi seorang auditor. Menurut Standard Profesional Akuntan Publik (SA
230.PSA 04.2001), penggunaan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama
menyangkut apa yang dikerjakan auditor dan bagaimana kesempurnaan pekerjaannya
tersebut.
C. Pengalaman
Pengalaman merupakan cara pembelajaran yang baik bagi
auditor internal untuk menjadikan auditor kaya akan teknik audit. Semakin
tinggi pengalaman auditor, maka semakin mampu dan mahir auditor mengusai
tugasnya sendiri maupun aktivitas yang diauditnya. Pengalaman juga membentuk
auditor mampu menghadapi dan menyelesaikan hambatan maupun persoalan dalam
pelaksanaan tugasnya, serta mampu mengendalikan kecenderungan emosional
terhadap pihak yang diperiksa. Selain pengetahuan dan keahlian, pengalaman auditor memberi kontribusi yang
relevan dalam meningkatkan kompetensi auditor..
2.1.2.5. Kualitas Pelaksanaan Audit
Tahap awal pelaksanaan audit internal adalah
penyusunan program audit. Menurut Harahap (1991:167) mengemukakan tentang
program audit sebagai berikut:
“Program pemeriksaan adalah rencana yang disusun
sebelum pemeriksaan dilakukan di lapangan. Program inilah yang nantinya menjadi
pemandu pemeriksaan dalam melaksanakan pemeriksaan. Program pemeriksaan
biasanya disusun untuk menggambarkan langkah-langkah yang akan dilaksanakan
dalam laporan keuangan”.
Sedangkan Arens & Loebbecke (2000:347), mengemukakan
tentang program audit sebagai berikut:
“The audit program for most audits is
designed in three parts: test of control and substantive thesis of transaction,
analytical procedure, and tests of detail of balances. There will likely be a
separate set of sub audit programs for each transaction cycle. An example in
the sales and collection cycle might be tests of controls and substantive tests
of transactions audit programs for sales and cash receipts, an analytical
procedures audit program for entire cycle; and tests of detail of balance audit
program for cash, account receivable, bad debt expense, allowance for
uncollectible accounts, and miscellaneous accounts receivable”.
Standard pelaksanaan audit menguraikan tiap kegiatan yang
sangat diperlukan pada pemeriksaan, yaitu merencanakan pemeriksaan, menguji dan
menilai bahan pembuktian dan mengkomunikasikan hasilnya.
Auditor internal bertanggung jawab untuk merencanakan
dan melaksanakan tugas pemeriksaan, yang harus disetujui dan ditinjau atau
direviu oleh atasan auditor. Hal tersebut sesuai dengan Standard for the
Profesional of Internal Auditing (Ratliff, et, al, 1988:63) sebagai berikut:
400 Performance or audit work-audit
should include planning the audit examining and evaluating information,
communicating results and following up.
410 Planning the audit internal auditors
should plan each audit.
420 Examining and evaluating
information-internal auditors should collect. Analyze, interpret and document
information to support audit results.
430 Communicating result-internal
auditing should report the result of their audit work.
440 Following up-internal auditors
should follow up to ascertain that appropriate action is taken on reported
audit findings.
Dilihat dari standard for the Profesional of Internal
Auditing di atas maka pelaksanaan atau fase-fase auditor internal dalam audit
internal, meliputi:
1. Perencanaan
Audit
Auditor
internal harus merencanakan setiap pemeriksaan, dalam hal ini perencanaan
tersebut harus didokumentasikan yang meliputi :
(1) Penetapan tujuan, sasaran dan ruang lingkup
pemeriksaan.
(2) Memperoleh informasi dasar (background
information) tentang kegiatan yang akan diaudit.
(3) Penentuan tenaga yang diperlukan untuk
melaksanakan pemeriksaan.
(4) Pemberitahuan kepada para pihak yang dipandang
perlu.
(5) Melaksanakan survei secara tepat untuk lebih
mengenali kegiatan yang diperlukan, untuk mengidentifikasikan area yang
ditekankan dalam pemeriksaan, serta untuk memperoleh berbagai alasan dan
saran-saran dari pihak yang akan diperiksa (audited comments and suggestions).
(6) Pembuatan program pemeriksaan.
(7) Menentukan bagaimana, kapan dan kepada siapa
hasil-hasil pemeriksaan akan disampaikan.
(8) Memperoleh persetujuan atas rencana kerja
pemeriksaan.
2. Pengujian
dan Pengevaluasian Informasi
Audit
internal harus mengumpulkan, menganalisis, menginterprestasikan dan membuktikan
kebenaran informasi meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Mengumpulkan
berbagai informasi tentang seluruh hal yang berhubungan dengan tujuan, sasaran
dan ruang lingkup pemeriksaan.
(2) Informasi
harus mencukupi, dapat dipercaya, relevan dan berguna sebagai dasar yang logis
bagi temuan audit dan rekomendasi.
(3) Prosedur
pemeriksaan, termasuk teknik pengujian dan penarikan sampel yang dipergunakan,
harus terlebih dahulu diseleksi bila memungkinkan dan diperluas/diubah bila
keadaan menghendaki demikian.
(4) Proses
pengumpulan, analisis, penafsiran dan pembuktian kebenaran informasi haruslah
diawasi untuk memberikan kepastian bahwa sikap objektif pemeriksa terus dijaga
dan sasaran pemeriksaan dapat dipercaya.
(5) Menyiapkan
kertas kerja pemeriksaan (audit working paper). Kertas kerja pemeriksaan
adalah dokumen pemeriksaan yang harus dibuat oleh auditor untuk direviu oleh
manajer auditor internal. Kertas kerja pemeriksaan harus mencantumkan berbagai
informasi yang diperoleh dan telah dianalisis serta harus mendukung dasar
temuan audit dan rekomendasi yang dilsampaikan.
3. Penyampaian
Hasil Audit
Auditor
internal harus melaporkan hasil-hasil pemeriksaan yang dilakukannya atau yang
diperoleh dari kegiatan pemeriksaannya. Proses penyampaian hasil pemeriksaan
meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Auditor
internal harus terlebih dahulu mendiskusikan berbagai kesimpulan dan
rekomendasi dengan tingkatan manajemen yang tepat, sebelum mengeluarkan laporan
akhir.
(2) Laporan
harus objektif, jelas, singkat, konstruktif dan tepat waktu.
(3) Laporan
harus mengemukakan tentang maksud, lingkup dan hasil pelaksanaan pemeriksaan.
(4) Laporan
dapat mencantumkan berbagai rekomendasi bagi berbagai perkembangan yang mungkin
dicapai, pengakuan terhadap kegiatan yang dilaksanakan secara meluas dan
tindakan korektif.
(5) Pandangan
dari pihak yang diperiksa tentang berbagai kesimpulan atau rekomendasi.
(6) Pengujian
auditor internal dan staf yang ditunjuk harus mereviu dan menyetujui laporan
pemeriksaan akhir, sebelum laporan tersebut akan disampaikan.
(7) Menerbitkan
laporan hasil pemeriksaan.
4. Tindak
Lanjut Hasil Audit
Auditor
internal harus terus menerus meninjau atau melakukan tindak lanjut (follow
up) untuk memastikan bahwa rekomendasi terhadap temuan-temuan pemeriksaan
yang dilaporkan telah diambil tindakan yang tepat. Auditor internal juga harus
memastikan apakah suatu tindakan korektif yang diusulkan memberikan berbagai hasil
yang diharapkan. Apabila tidak ada follow up atas temuan pemeriksaan maka
berarti manajemen telah menerima risiko akibat tidak dilakukannya tindakan
korektif atas temuan yang dilaporkan.
2.2 Kerangka Pemikiran
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No.
|
Penulis dan Tahun
|
Judul Penelitian
|
Hasil
|
1.
|
Edge and Farley
(1991)
|
“External Auditor Evaluation of The
Internal Audit Function”.
|
Penelitian ini di Australia, yang
menjadi subjek adalahorganizational status, scope of function, technical
competence, due professional care and previous audit work.
|
2.
|
Richard A Bernadi
(1994)
|
Fraud Detection ; The Effect of Client
Integrity & Competence and Auditor Cognitive Style.
|
Auditor viewed the evaluation of
client integrity and competence as one of the most difficult steps in audit
process.
|
3.
|
Dedy Supardi
(1997)
|
Pengaruh Independensi dan Keahlian
Profesional Auditor Internal terhadap Pelaksanaan Audit Internal.
|
Menunjukkan besarnya pengaruh dukungan
pimpinan puncak terhadap independensi dan keahlian profesional auditor internal
terhadap pelaksanaan audit internal.
|
Lanjutan
|
|||
No.
|
Penulis dan Tahun
|
Judul Penelitian
|
Hasil
|
4.
|
Hiro Tugiman
(2000)
|
Pengaruh Peran Auditor Internal serta Faktor-faktor
Pendukungnya terhadap Peningkatan Pengendalian Internal dan Kinerja Perusahaan.
|
Masih banyak auditor internal belum mengetahui secara
mendalam tentang audit internal. Jasa auditor internal yang berkualitas
berkorelasi secara nyata terhadap pengendalian intern.
|
Mengutip definisi di atas bahwa “Auditing adalah proses
pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur
mengenai entitas ekonomi yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan
independen…” (Arens dan Loebbecke, 2000:4). Definisi tersebut merupakan grand
theory untuk bidang auditing secara umum. Penekanan makna kompetensi dan
independensi dalam grand theory tersebut menyiratkan pemahaman
bahwa profesi auditor adalah profesi yang rumit, jika dibandingkan dengan
beberapa profesi lainnya. Kompetensi dan Independensi merupakan dua hal yang
berkaitan dalam profesi ini.
Begitu juga menurut Standard Praktek Profesi Audit
Internal (Sawyer:540), Standard penugasan auditor adalah:
“Auditor telah memiliki tanggung jawab sebelumnya
dengan adanya independensi dan kompetensi”.
Seorang auditor, sekalipun ia ahli, apabila tidak
mempunyai sikap independen dalam mengumpulkan informasi akan menjadi tidak
berguna, sebab informasi yang digunakan untuk mengambil keputusan haruslah
tidak bias (Arens dan Loebbecke, 2000:4). Independen adalah sesuatu yang sangat
mendasar bagi efektifitas audit internal.
Standard for the Profesional Practice of Internal
Auditing tahun 2000 yang dikutip oleh Sawyer, buku Internal Auditing
(2003:1149), menyatakan bahwa:
“Independence, internal auditor should
be independent of the activities they audit. Organizational status, internal
auditing department should be sufficient to permit the accomplishment of its
audit responsibilities. Objectivity, internal auditor should be objective in
performing audits”.
Independensi berkaitan dengan objektivitas terutama
dengan kecenderungan emosional. Pemisahan organisasi dan status yang memadai bagi
auditor internal membebaskan auditor internal dari suatu kecenderungan
emosional terhadap pihak yang diaudit.
Dengan independensi maka auditor internal akan bekerja
secara objektif, tidak memihak, terhindar dari rasa ketakutan tidak loyalitas,
serta mempunyai keleluasaan untuk menyelesaikan tanggung jawabnya. Segala
analisa, penilaian, informasi, konsultasi dan rekomendasi dari auditor internal
terlepas dari keberpihakan dan tidak bias sehingga menjadi bahan pertimbangan
yang penting bagi dasar pengambilan keputusan. Dengan demikian pihak manajemen,
dan pimpinan organisasi mendapat masukan yang benar-benar jujur dan objektif.
Agar mendapat kepercayaan yang lebih banyak, selain
independen, auditor internal juga dituntut untuk terus meningkatkan
kemampuannya. The department should assign to each audit those persons
who collectively prossess the necessary knowledge, skill and disciplines to
conduct the audit properly” (Courtemanche, 1986:321). Kemampuan profesional yang dimiliki auditor
internal secara individual ataupun secara kolektif harus sesuai dengan bidang
audit yang akan dilaksanakannya.
Auditor internal dituntut mampu menerapkan standard
pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, dan teknik-teknik pemeriksaan yang baik dan
tepat. Penerapannya juga harus dapat mengikuti perkembangan yang terjadi yang
berkaitan dengan aktivitas yang diaudit. Auditor internal yang baik harus mampu
mengikuti dinamika bidang yang akan diauditnya dengan baik, berkaitan dengan
perubahan peraturan perundangan, perubahan keadaan ekonomi, perubahan situasi
dan kondisi, yang memungkinkan mempengaruhi proses auditnya.
Auditor internal makin terlihat dengan masalah-masalah
manajerial di perusahaan, sehingga dia juga harus pula memahami konsep-konsep
manajerial sehingga tidak mengganggu prinsip-prinsip kepemimpinan yang
ditegakkan oleh manajemen. Auditor internal harus mampu menjaga keselarasan
kerja seluruh pihak auditan. Auditor internal harus menjaga dan terus
memperbaiki hubungannya dengan pihak manajemen auditan, sebagaimana prinsip
kemitraan sebagai jalan mendapat kepercayaan yang lebih besar dari manajemen
sehingga rekomendasi mendapat tanggapan yang positif dari mereka. Auditor
internal harus banyak bersosialisasi dengan lingkungan dalam perusahaan,
sehingga dapat memahami dengan baik segala fenomena atau permasalahan yang
berkaitan dengan bidang yang diperiksanya. Auditor internal harus menghilangkan
“kaca mata kuda” yang sering mengganggu hubungannya dengan pihak manajemen
auditan.
Pengertian persoalan menurut manajemen mungkin saja
berbeda dengan pengertian menurut auditor internal. Auditor internal akan
mendapat manfaat seandainya ia memahami perbedaan tersebut (Courtemanche,
1986:97). Auditor internal juga harus memahami posisi dan tekanan yang dihadapi
pihak manajemen, dengan demikian auditor internal bisa menetapkan skala
prioritas terhadap hal-hal yang menjadi perhatian manajemen. Bila auditor
internal telah mempunyai kemampuan yang memadai maka analisa, penilaian,
informasi dan rekomendasi yang akan diberikan kepada pihak manajemen akan
mempunyai nilai tambah dan bersifat konstruktif bagi pengembangan operasional
secara berkesinambungan.
Kedua unsur tersebut, yaitu independensi dan kompetensi
auditor internal secara jelas saling berkaitan sesuai dengan definisi auditing
secara umum. Namun demikian, ada perbedaan dimensi terhadap keduanya bila
ditinjau dari sudut pandang auditor eksternal dan auditor internal.
Auditor internal merupakan bagian dari organisasi dalam
suatu entitas bisnis secara keseluruhan, yang mempunyai tugas untuk membantu
manajemen dan pimpinan organisasi untuk menyelesaikan tanggung jawab mereka
agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Sehingga jelas bahwa independensi dan kompetensi
auditor internal diperlukan oleh unit auditor internal dalam melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya.
Dalam pelaksanaan kegiatan audit, maka auditor internal
bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan tugas audit yang harus
disetujui dan ditinjau (reviu) oleh atasan auditor.
Menurut Hiro (2006:53), bahwa:
“Kegiatan auditor internal harus meliputi perencanaan
pemeriksaan, pengujian dan pengevaluasian hasil dan menindaklanjuti”.
Tujuan dan prosedur audit haruslah ditujukan pada
berbagai risiko yang berhubungan dengan kegiatan yang diaudit. Audit internal
harus mengumpulkan, menganalisis, menginterprestasikan dan membuktikan
kebenaran informasi untuk mendukung hasil audit. Selanjutnya auditor internal
harus melaporkan hasil auditnya dan auditor internal harus terus menerus
meninjau dan melakukan tindak lanjuti (follow up) untuk memastikan bahwa
terhadap temuan audit yang dilaporkan telah dilakukan tindakan yang tepat.
Informasi hasil audit internal dan saran-saran mengenai
hal-hal tertentu dapat disampaikan langsung kepada semua tingkatan manajemen
untuk digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini penting agar hasil audit dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi pihak manajemen secara keeluruhan.
Apabila pelaksanaan audit dilaksanakan oleh seorang
auditor internal yang independen dan kompeten maka akan berpengaruh terhadap
kualitas pelaksanaan audit dalam menghasilkan suatu rekomendasi yang baik dan
bila rekomendasi tersebut ditindaklanjuti oleh pihak manajemen maka akan
menghasilkan suatu kinerja yang baik.
Gambar 2.1
Paradigma Penelitian
2.3 Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas yang mengacu kepada kerangka
pemikiran dan rumusan masalah, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah: Independensi dan Kompetensi Auditor Internal terhadap Kualitas
Pelaksanaan
Sumber:
0 komentar:
Post a Comment